Legislator dan Praktisi Hukum Garut Tuntut Baznas Bangun Nurani

oleh
oleh
Dadan Nugraha dan Yudha Puja Turnawan

Wartasatu – Di balik kemajuan digital dan pembangunan yang kerap digaungkan, ternyata masih ada warga yang hidup dalam kondisi ekstrem dan nyaris tak tersentuh negara.

Salah satu kisah memilukan datang dari Emak Eja, seorang lansia dhuafa di Kelurahan Margawati, Garut Kota. Lumpuh, tinggal di rumah reyot berlubang, dan tidak tersentuh bantuan.

Lebih menyakitkan lagi, saat Yudha yang berkunjung ke Rumah Emak Eja bersama Camat, Dinsos, dan Lurah Margawati, menemukan kenyataan bahwa, permohonan bantuan sosial yang diajukan sejak 2022 tak pernah direspons oleh Baznas Garut.

Baca Juga :  Panas Buminya Dihisap, Jalannya Tetap Berlubang, Indra Kristian Tuntut Keadilan Anggaran di Samarang dan Pasirwangi

Kisah ini mencuat ke publik usai Yudha Puja Turnawan, anggota DPRD Kabupaten Garut dari Fraksi PDI Perjuangan, menyuarakan kekecewaannya secara terbuka.

Sebagai anggota Komisi IV DPRD yang membidangi kesejahteraan rakyat, Yudha menilai ada kelalaian serius dalam sistem distribusi bantuan sosial.

“Rumahnya sudah hampir roboh, lantainya berlubang, dapurnya enggak bisa dipakai, dan beliau lumpuh. Tapi sampai sekarang, enggak ada gerakan dari Baznas. Permohonannya sudah masuk sejak 2022, tapi nihil aksi,” ujar Yudha saat meninjau langsung kondisi Emak Eja, Rabu (14/5/2025)

Realita Kasar di Balik Angka, Emak Eja dan Diamnya Baznas

Emak Eja bukan sekadar cerita kemiskinan biasa. Ia adalah potret nyata dari kemiskinan ekstrem, hidup sendiri, tidak bisa berjalan, dan terputus dari akses bantuan karena urusan administrasi seperti Kartu Keluarga (KK) yang belum diperbarui setelah suaminya wafat. Situasi ini membuatnya tak masuk daftar penerima bantuan permakanan lansia.

Baca Juga :  Babak Baru Kasus Dokter Cabul, Begini Penanganan Kejari Garut

Namun, yang bikin publik makin geram adalah mandeknya respons Baznas Garut. Menurut Lurah Margawati, pihak kelurahan sudah mengajukan permohonan bantuan perbaikan rumah sejak 26 Oktober 2022. Tapi sampai berita ini diturunkan, tidak ada asesmen, verifikasi, atau bahkan sekadar kunjungan dari Baznas.

“Ini bukan soal anggaran besar atau kecil. Ini soal keberpihakan. Jika permintaan dari ASN selevel lurah saja diabaikan, apalagi dari rakyat biasa?” tegas Yudha.

Ada Apa dengan SOP dan Rasa Kemanusiaan?

Yudha dengan tegas meminta agar Pemkab Garut mengevaluasi total Baznas, termasuk meninjau SOP dan sistem responnya terhadap pengajuan bantuan dari instansi pemerintahan.

Ia menyentil bahwa sebagai lembaga yang dibiayai dari zakat dan infaq ASN, Baznas seharusnya menghormati dan merespons serius setiap pengajuan dari pemerintah kelurahan.

Baca Juga :  Papag Setra Indonesia, Bukan Sekadar Silat, Ini Gerakan Jiwa, Budaya, dan Karakter

“Baznas seharusnya hadir sebagai penyambung kebaikan, bukan justru menjadi birokrasi lamban yang kehilangan nurani,” ucap Yudha, menyindir.

Tak hanya itu, Yudha juga meminta agar Pemkab segera membentuk Forum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSLP) agar bantuan dari dunia usaha bisa lebih terarah ke warga-warga yang benar-benar membutuhkan.

Dari Hukum Sampai Hati Nurani, Dadan Nugraha Angkat Bicara

Menanggapi polemik ini, Dadan Nugraha, seorang advokat dan pemerhati kebijakan publik, ikut angkat suara. Menurutnya, kasus Emak Eja bukan hanya soal moral, tapi berpotensi mengandung unsur maladministrasi dan pelanggaran hukum.

“Pasal 7 Permendagri Nomor 59 Tahun 2021 mewajibkan pemerintah daerah memberikan layanan sosial dasar, termasuk rehabilitasi lansia telantar. Ketika ini diabaikan, maka bukan hanya tidak etis, tapi bisa menjadi pelanggaran hukum,” kata Dadan.

Baca Juga :  Mafia Tanah Menyasar Wakaf? YBHM, Pemuda Pancasila, dan Tim Hukum Tancap Gas Bongkar Dugaan Penggelapan Aset Umat!

Ia juga menyentil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang mewajibkan Baznas menyalurkan zakat kepada yang berhak. Ketidakmampuan atau kelambanan dalam menindaklanjuti permohonan resmi adalah indikasi disfungsionalitas kelembagaan.

“Negara tidak boleh absen. Pemerintah Kabupaten Garut harus bertindak. Jika ada pelanggaran SOP, sanksi administratif harus dijatuhkan,” tegasnya.

Enggak Butuh Narasi Manis, Tapi Aksi Nyata

Di era transparansi dan media sosial, masyarakat makin kritis. Mereka tak cuma menunggu pernyataan belas kasihan, tapi ingin melihat aksi nyata dari para pemegang amanah. Dadan mempertanyakan, ke mana zakat yang dipotong dari gaji ASN tiap bulan? Kenapa kasus semacam ini terus berulang?

Baca Juga :  Sengketa Tanah Wakaf di Garut Makin Panas! Plang Dipasang, Somasi Dilayangkan, Ancaman Pidana Mengintai
Emak Eja Hanya Satu Nama, Tapi Simbol Ribuan Nasib

Kasus Emak Eja adalah tamparan keras bagi Pemkab dan Baznas Garut. Ini bukan sekadar soal satu rumah rapuh, tapi simbol dari sistem sosial yang tak responsif dan minim empati.

Selama SOP hanya jadi dokumen, dan rasa kemanusiaan tak menggerakkan birokrasi, maka Emak Eja lainnya akan terus bermunculan di sudut-sudut Garut.

“Jangan sampai rumah Emak Eja rubuh dulu, baru semua pihak ribut.” tegas Dadan. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *