Wartasatu – Di tengah geliat pembangunan infrastruktur yang digaungkan pemerintah daerah, suara lantang muncul dari salah satu legislator muda yang vokal dan tak segan bersuara yakni, anggota Komisi II DPRD Kabupaten Garut, Indra Kristian.
Dalam pernyataannya yang penuh semangat, ia mengkritisi ketimpangan distribusi anggaran pembangunan, khususnya di wilayah penghasil panas bumi seperti Pasirwangi dan Samarang.
“234 miliar rupiah Dana Bagi Hasil (DBH) panas bumi untuk tahun 2024 itu bukan angka kecil. Tapi coba lihat kondisi di lapangan, jalan rusak, belum ada drainase, masyarakat masih mengeluh,” tegas Indra saat ditemui di salah satu Pusat Kuliner, di Garut, Jawa Barat, Rabu (21/05/2025).
Garut Kaya Energi, Tapi Miskin Akses?
Indra menyebutkan, sebagai salah satu daerah penghasil panas bumi terbesar di Indonesia, Kabupaten Garut, khususnya wilayah Pasirwangi dan Samarang, menyumbang kontribusi besar terhadap energi nasional.
Namun, ironisnya, daerah penghasil ini justru tertinggal dalam pembangunan dasar, terutama infrastruktur jalan dan sanitasi.
“Ini seperti ayam mati di lumbung padi. Daerahnya menghasilkan triliunan energi, tapi jalanan ke kebun warga saja rusak parah,” sindir Indra.
DBH Panas Bumi 2024 Tembus 234 Miliar
Indra menyebutkan, berdasarkan data resmi, Dana Bagi Hasil (DBH) panas bumi tahun 2024 yang masuk ke Kabupaten Garut mencapai lebih dari Rp234 miliar.
Dana ini semestinya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah terdampak eksplorasi energi panas bumi, sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Namun menurut Indra, alokasi anggarannya belum tepat sasaran. Banyak proyek infrastruktur justru diarahkan ke kawasan lain yang bukan penghasil, sementara warga di zona panas hanya merasakan panasnya energi—bukan manfaatnya.
Realita di Pasirwangi dan Samarang: Jalan Rusak, Drainase Nihil
Indra menyebut, keluhan masyarakat di dua kecamatan penghasil utama ini sudah lama menggema. Jalan-jalan desa berlubang, rusak parah di musim hujan, dan sama sekali belum tersentuh proyek drainase permanen.
Padahal, lalu lintas truk besar pengangkut peralatan panas bumi kerap lalu-lalang di jalur ini, mempercepat kerusakan jalan.
“Warga di sekitar Sumur Panas Bumi itu tidak hanya terganggu dengan kebisingan dan aktivitas proyek, tapi juga harus hidup dengan infrastruktur yang tidak manusiawi. Ini enggak adil,” lanjut Indra dengan nada prihatin.
Legislator Desak Evaluasi Skema Pembagian Anggaran
Indra menyerukan reformulasi dalam skema pembagian anggaran DBH, agar lebih berpihak pada daerah penghasil. Menurutnya, keadilan fiskal bukan hanya soal besar kecilnya nominal, tapi siapa yang paling terdampak, dia yang paling diutamakan.
“Kalau skema ini dibiarkan, ke depan bisa memicu ketimpangan sosial. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap negara,” tegasnya.
Indra Minta Bupati dan BPKAD Turun Langsung ke Lapangan
Dalam pernyataannya, Indra juga mendesak Bupati Garut beserta jajaran Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) untuk meninjau langsung kondisi jalan dan infrastruktur dasar di Samarang dan Pasirwangi.
“Jangan hanya duduk di balik meja AC. Coba jalan ke Desa Sukawargi atau Pangkalan. Rasakan sendiri gimana susahnya akses warga ke sekolah atau puskesmas,” sindirnya lagi.
Bukan Sekadar Anggaran, Tapi Keberpihakan!
Untuk mencegah ketimpangan makin dalam, Indra Kristian memberikan beberapa rekomendasi strategis:
- Minimal 40% dari DBH panas bumi dialokasikan khusus untuk infrastruktur di kecamatan penghasil.
- Libatkan masyarakat lokal dalam perencanaan pembangunan agar proyek benar-benar menyasar kebutuhan nyata.
- Evaluasi kontraktor atau pihak ketiga yang dinilai lalai membangun fasilitas pendukung eksplorasi panas bumi.
- Audit publik atas penggunaan DBH panas bumi untuk mendorong transparansi.
- Pemda wajib membuka dashboard real-time anggaran berbasis wilayah.
Dari Dapur Energi, Teriakan Keadilan Mencuat
Suara Indra Kristian bukan sekadar kritik biasa. Ini adalah seruan keadilan dari jantung energi Garut, tempat di mana kekayaan alam begitu besar, tapi manusianya masih bergulat dengan keterbatasan.
“Kita ini penghasil energi nasional. Tapi kalau rakyatnya masih jalan kaki di tengah jalan berlubang dan genangan, itu artinya kita gagal. Pemerintah harus hadir!” pungkasnya dengan nada serius. (***)