Air Bersih adalah Hak Rakyat, Bukan Bonus untuk Relawan Politik

oleh
oleh
Syam Yousef Djojo, S.H., M.H.

Wartasatu – Drama pemecatan tiga direksi PDAM Tirta Intan Garut makin ramai diperbincangkan publik. Bukan cuma aktivis dan warga yang angkat suara, kini giliran praktisi hukum sekaligus pemerhati kebijakan publik, Syam Yousef Djojo, S.H., M.H.

Syam yang diketahui juga sebagai Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kabupaten Garut, yang memberi komentar tajam terkait langkah Bupati Garut sebagai Kuasa Pemilik Modal (KPM) dalam mengganti jajaran pucuk pimpinan PDAM.

Melalui wawancara di sebuah Resto di Bilangan Jalan Raya Garut-Tasik, Syam menyayangkan proses pemberhentian tersebut yang dinilainya terlalu tergesa-gesa dan tidak rapi secara administrasi pemerintahan, Sabtu (10/05/2025).

Ia menilai, keputusan itu bukan cuma menimbulkan pertanyaan, tapi juga berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan di Kabupaten Garut.

“Saya mendapatkan informasi bahwa SK pemberhentian tiga direksi PDAM Garut ini belum diterima oleh ke tiga direksi, tidak tertib secara administrasi, akan tetapi langsung disusul penunjukan Plt Direksi. Ini semakin memperkuat dugaan publik bahwa ada aroma politik balas budi di baliknya,” kata Syam.

Kritik Bukan Benci, Tapi Peringatan

Syam menjelaskan bahwa komentarnya bukan bermaksud menjatuhkan integritas Bupati sebagai KPM, melainkan bentuk pengawasan publik yang sehat terhadap jalannya roda pemerintahan.

Menurutnya, meski Bupati punya kewenangan penuh atas PDAM sebagai KPM, namun semua langkah, apalagi yang berdampak besar seperti penggantian direksi, harus tetap mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan prosedural.

“Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kewenangan Bupati, saya sangat menyayangkan jika langkah strategis seperti ini dilakukan tanpa dasar administrasi yang kuat. Kalau terus begini, ke depan masyarakat bisa kehilangan kepercayaan,” tegasnya.

Syam juga menyinggung pentingnya tertib administrasi sebagai fondasi utama dalam menjalankan pemerintahan yang baik (good governance). Baginya, tata kelola pemerintahan yang buruk bukan hanya berbahaya dari segi hukum, tapi juga bisa menyebabkan ‘Public distrust’.

Bukan Sekadar Ganti Orang, Tapi Ganti Sistem?

Langkah pemecatan dan pengangkatan Plt Direksi PDAM Garut ini dinilai terlalu cepat dan tidak disertai dengan penjelasan resmi ke publik. Padahal, PDAM sebagai perusahaan daerah yang mengelola layanan vital seperti air bersih, seharusnya dikelola secara profesional, bukan sebagai alat politik jangka pendek.

Baca Juga :  Sayangkan Keberadaan TPST Oxbow Mekarrahayu, Anggota DPRD Kabupaten Bandung H. Dadang Suryana, S.Ip Berharap Segera Diserahterimakan

Syam pun mempertanyakan, apakah proses penggantian ini didasarkan pada evaluasi kinerja yang objektif, atau justru sekadar ingin menempatkan “orang-orang dekat” dalam kursi empuk pemerintahan.

“Kalau memang ada evaluasi kinerja, mana datanya? Mana kajian objektifnya? Kalau semua serba mendadak dan tertutup, wajar dong publik jadi curiga,” tambahnya.

Publik Butuh Kepastian, Bukan Drama Politik

Di tengah situasi sosial-ekonomi yang makin kompleks, publik butuh pemimpin daerah yang bisa menjaga integritas, bukan yang justru memantik konflik dan polemik. Terlebih, isu pelayanan air bersih adalah kebutuhan dasar yang tidak boleh jadi korban dari tarik-menarik kekuasaan.

Syam mengingatkan bahwa setiap keputusan pemerintah akan selalu diawasi oleh masyarakat, apalagi di era digital saat ini. Sekali blunder, kepercayaan publik bisa runtuh, dan itu dampaknya bisa lebih panjang daripada masa jabatan lima tahun.

“Saran saya sederhana: kembalikan semuanya ke koridor hukum dan administrasi yang benar. Jangan buru-buru, jangan asal ganti, dan jangan jadikan perusahaan publik sebagai alat balas jasa politik,” pungkasnya.

Benahi Administrasi, Biar Pemerintahan Nggak Gampang Di-prank Publik

Pemecatan tiga direksi PDAM Garut ternyata bukan sekadar isu internal, tapi sudah merambat jadi sorotan publik yang menyentuh inti pemerintahan. Jika benar ada indikasi politisasi dan ketidaktertiban dalam prosesnya, maka ini bisa jadi alarm bahaya bagi wajah birokrasi Kabupaten Garut ke depan.

Masyarakat Garut tentu berharap, setiap keputusan diambil bukan karena “siapa yang dekat dengan penguasa”, melainkan karena “siapa yang paling layak dan profesional” untuk memperbaiki sistem. Karena sekali lagi, air bersih adalah hak rakyat, bukan bonus untuk relawan politik. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *