WARTASATU.CO , GARUT – Persoalan hukum yang menyertai pejabat Pemkab Garut dan beberapa pengusaha dalam beberapa kegiatan pelaksanaan anggaran, dinilai bertolak belakang dengan raihan 5 kali berturut-turut Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Pemerintah Daerah.
Menanggapai hal itu, Drs. H. Zat Zat Munazat, M.Si. selaku Inspektur Daerah saat ditemui di gedung DPRD mengatakan, dengan WTP yang berturut-turut itu berarti tidak ada satu pembinaan yang masuk. Dari pembinaan itu maka lahirlah opini dan adanya perbaikan-perbaikan.
Idealnya, lanjut Inspektur Daerah, kalau bicara ideal ya ingin nya kita semua bagus. Tapi di Kabupaten manapun pasti selalu ada kekurangan.
Saat ditanya apakah ada korelasi antara predikat WTP dengan persoalan hukum beberapa pejabat Pemkab, Zat Zat menerangkan, kalau WTP melihatnya atas pedoman Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Contoh, bahwa pengeluaran ini sudah sesuai.
“Terkait kegiatan yang ada di dinas, umpamanya kita melakukan keliling lakukan pengawasan reguler. Pas kita masuk ke dinas itu ada yang sudah selesai, ada yang belum ada yang sedang proses (berjalan anggaran kegiatan). Yang belum dan sedang proses, kita tidak lakukan pengawasan,” terangnya.
“Kita melakukan pembinaan itu di tahun berjalan, beda dengan BPK. Kalau BPK setelah semua kegiatan beres,” imbuh Zat Zat.
“Semisal, saat kita lakukan kunjungan ke satu SKPD mungkin belum ada kegiatan apa-apa. Seperti kecamatan saja, kita masuk di Januari atau Februari kan belum ada kegiatan apa-apa, tapi kita tetap melakukan pembinaan terkait hal administrasi yang harus di siapkan. Itu yang membedakan APIP (pengawas internal) dengan pengawas eksternal. Dan waktu kita juga terbatas hanya 10 hari bahkan ada yang 5 hari seperti kecamatan kecil,” ungkap mantan Plt Sekda Garut,” jelas Zat Zat Munajat.
Menanggapi kritik anggaran yang relatif besar sekitar 0,5 yang ada di Inspektorat namun seakan tidak linear dengan kinerja, dengan adanya pejabat yang di bui, Inspektur menjelaskan, 0,5 persen itu kan memang amanat peraturan menteri. Tapi pada realisasi atau kenyataannya tidak sampai 0,5 persen.
“Kemarin kan di 2020 ada realokasi Rp.6 miliar, sisa Rp. 14 miliar. Kemudian ada stagnasi work from home (WFH) hingga yang terserap Rp.9 miliar,” ujar Inspektur. (Ridwan)