WARTASATU.CO , JAKARTA – Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akhir-ahir ini menjadi perbincangan hangat dari berbagai kalangan. Hal itu terjadi semenjak keluarnya wacana dari pemerintah untuk merevisi UU tersebut.
Wacana revisi UU ITE itu diutarakan Presiden Jokowi pada rapat terbatas, Senin (15/2), dan menekankan penghapusan pasal-pasal karet yang multitafsir, juga menghimbau pihak terkait agar lebih selektif.
Inisiatif pemerintah tersebut patut disambut baik dan didorong agar segera di realisasi. Berkaca dari peristiwa sebelumnya, yang mana revisi UU ITE pada 2016 silam diubah dalam kerangka kelembagaan yang lebih buruk.
Reformasi harus hadir dengan komitmen terhadap demokrasi sebagai jawaban atas kejenuhan publik selama beberapa dekade di bawah sistem otoritarianisme yang penuh dengan pengekangan.
Hadirnya UU ITE sejak Tahun 2008 tampak menyisakan masalah baru bagi agenda transisi menuju demokrasi, demikian di sampaikan H. Mohammad Dawan SH.I., MH salah seorang Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas RI)
Saat media ini berbincang dengan Komisioner Kompolnas tersebut, pria yang karib disapa Gus Dawam inipun menuturkan, menurutnya konstruksi filosofis dalam UU Nomor 19 tahun 2016 jo UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yang sudah masuk dalam konsiderans UU ITE perlu diterjemahkan dalam praktik di lapangan secara pas.
Yakni, Konsepsi Negara Demokrasi harus dipraktikkan secara tepat dalam pelaksanaannya untuk transformasi Polri yang Presisi.
“Untuk itu diperlukan pedoman dan atau panduan penyidikan khusus penanganan UU ITE ini, yang dibuat sebagai prlaksaan teknis operasional pelengkap paraturan yang sudah ada, yakni KUHAP, Perkap maupun Peraturan lainnya, dengan mengisi ruang hukum yang masih kosong dan multitafsir dalam pemahaman pasal-lasal UU ITE,” beber Gus Dawam Komisoner Kompolnas, (02/03/2021).
Lanjutnya, pedoman dan atau panduan penyidikan khusus penanganan hukum UU ITE ini dibuat untuk melengkapi prosedur formil penanganannya, yaitu meliputi :
Pertama, subyek pelaksana hukum (penyidik/penyidik pembantu dan pihak yang terlibat dialamnya). Poin kedua, pada obyek jukum (pelapor dan terlapor).
Pada poin ketiga, sambung Gus Dawam, substansi pelanggaran hukum (pasal dalam UU ITE yang disangkakan harus dapat terukur secara tepat, cermat dan jelas dalam pelanggaran hukum atas Undang-Undang ITE maupun dikaitkan dengan pelanggaran hukum atas undang-undang lainnya). Bukan pelanggaran peraturan dibawah Undang-Undang.
Oleh karena itu, setelah dinyatakan terpenuhi unsur prosedur formil sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan lainnya dan telah benar-benar tepat, lengkap sesuai prosedur pelaksanaan pedoman atau panduan penyidikan khusus penanganan hukum UU ITE dalam hal penegakan hukum atas Pasal-Pasal yang dianggap multitafsir/pasal karet.
Gus Dawam menambahkan, bahwa sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, penyidik wajib menghadirkan minimal tiga (3) ahli dan bahkan bisa lebih, yaitu ahli jukum pidana, ahli hukum informasi teknologi dan ahli hukum publik/ahli agama/ahli bahasa, untuk didengar keahliannya untuk penanganan kasus berat.
Setidaknya ada beberapa unsur yang harus dipenuhi diantaranya, menetapkan kriteria-kriteria khusus, memperjelas legal standing, menetapkan kriteria kasus, penetapan batas waktu penyelesaian, memberikan reward and punishmant, serta penganggaran biaya penyidikan dan sarana prasarana, rinci Gus Dawam.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan membuat kajian pedoman panduan teknis, berupa mendata kajian hukum penanganan hukum UU ITE yang sudah berkekuatan hukum tetap dan menjadi yurisprudensi, atau setidaknya penelitian pelaksanaan hukum UU ITE selama ini, terang Gus Dawam.
Paparan yang disampaikan Dr. Bambang Pratama, Dosen Bina Nusantara (Binus), akademisi bidang HAKI dan Cyber adalah salah satu yang relevan, yaitu sebagaimana yang dipaparkan secara lisan pada pertemuan tanggal 26 Februari 2021 di Hotel Dharmawangsa.
Yang pada pokoknya, dalam pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa filosofi penegakan hukum UU ITE dalam dasar pertimbangan hukum Hakim adalah dalam kerangka untuk edukasi publik, bukan untuk pemidanaan, ungkapnya.
Dengan demikian, perlu sekali mengkaji Pasal per pasal yang dianggap multitafsir/karet dalam UU ITE yang selama ini dijalankan.
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada UU ITE inilah yang kemudian dirumuskan dalam bentuk telaah mendalam, untuk membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat, progresif, produktif untuk keadilan, kepastian hukum dan kebermafaatan.
Yang nantinya hasil telaah dan kajian hukum atas pasal-per pasal yang multitafsir/karet inilah sebagai bahan dan rekomendasi untuk menetapkan beberapa kebijakan politik hukum, yang diantaranya adalah bahan kajian revisi/perubahan terbatas UU ITE.
Selanjutnya untuk bahan kebijakan hukum terbuka (Open Legal Policy) Presiden untuk menerbitkan Perppu atas UU ITE yang ada.
Kemudian bahan landuan teknis operasional penegakan hukum UU ITE, agar tidak lagi pasal yang multitafsir/karet dan diperuntukan dalam hal-hal diluar penegakan hukum.
Panduan teknis ini sifatnya adalah pelaksanaan panduan (guidance) bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam penindakan hukum UU ITE dilapangan, jelas Gus Dawam.
Terakhir, sebagai pelaksana tata kelola pemerintahan dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Maka Kompolnas dan pihak-pihak terkait sangat perlu untuk membantu penyelesaian harapan atas berlakunya UU ITE ditataran praktiknya, sesuai politik hukum Presiden dan Publik, yang tentu dalam kerangka mencari solusi kebangsaan,
Hal tersebut seiring dengan konsepsi dasar Demokrasi yang kita anut saat ini, pungkas Gus Dawam Komisioner Kompolnas RI. (Jajang Ridwan)