WARTASATU.CO , GARUT – Dugaan kasus “APBD Gate” dalam skema pokok-pokok pikiran (Pokir) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut, yang saat ini tengah ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut telah memasuki tahun ke dua.
Namun, penyelidikan kasus tersebut hingga saat ini belum juga menemukan kepastian hukum. Saat ini waktu penyelidikan di seksi pidana khusus (Sie Pidsus) telah berakhir. Dan, saat ini Kejari Garut sedang menunggu proses auditor guna kelanjutan kasus Pokir dan anggaran yang ada dilingkungan kerja DPRD Garut.
Hal itu terungkap pada saat audensi Perhimpunan Masyarakat Transparansi Jawa Barat (Mata Jabar) dengan Pihak Kejari Garut (kasie pidsus), Rabu (12/08/2020).
Dikatakan Iyep S Arrasyid, koordinator Mata Jabar, pokok-pokok pikiran DPRD yang disampaikan kepada kepala daerah, seharusnya tidak serta merta diterima oleh kepala daerah.
Tetapi harus diselaraskan, dan disesuaikan dengan prioritas pembangunan sebagaimana yang tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Namun, apa yang terjadi pada pokok-pokok pikiran di Kabupaten Garut, diduga bupati memberikan slot anggaran kepada ketua DPRD. Kemudian, ketua DPRD membagi kembali dengan alokasi yang berbeda-beda kepada anggota DPRD, ungkap koordinator Mata Jabar.
Baca juga : https://wartasatu.co/pokir-diobok-obok-kajari-senang-gak-senang-bukan-urusan-kami/
“Disini kita bisa mengendus niat jahat, atas pembagian yang berbeda bagi masing-masing anggota DPRD. Diduga terjadi Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), yang dilakukan oleh ketua DPRD bersama anggota.
Kemudian, diduga juga pokir ini dijadikan sebagai gratifikasi dari kepala daerah (eksekutif) kepada ketua DPRD (legislatif) dalam persetujuan pembahasan APBD,” beber Iyep S Arrasyid.
Sementara itu, Agus Sugandhi koordinator Garut Governance watch (GGW), menyampaikan pendapatnya terkait kasus Pokir yang sudah hampir 2 tahun belum selesai di kejaksaan yang melibatkan politisi, yang di asumsikan kuat secara jaringan politik.
“Saya pikir tidak ada orang kuat dimata hukum, karena fakta hukum yang bicara. Sebetulnya, hasil pemeriksaan terakhir sudah mengarah.
Dalam hal ini, kejaksaan semestinya bukan hanya kasuistis yang sudah diperiksa, tapi harus diperiksa kembali ketua DPRD, anggota badan anggaran (banggar) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), yang ketua nya adalah Sekretaris Daerah (Sekda). Karena, ada indikasi bancakan proyek Pokir. Dan, menurut saya kasus ini sudah terang benderang,” beber Agus Gandhi.
Baca juga : https://wartasatu.co/kejaksaan-diminta-uji-petik-dan-periksa-pihak-ketiga-usut-kasus-pokir-dprd-garut/
Selain ketua DPRD, Banggar dan TAPD, pemborong-pemborong (pelaksana kegiatan) juga harus diperiksa, baik oleh kejaksaan maupun auditor.
Jangan sampai, pemeriksaan auditor nantinya memeriksa parsial, dan sampling persoalan kecilnya saja, atau pekerjaan kecil dengan melibatkan pemborong kecil.
Tapi, harus memeriksa pekerjaan dari hasil pokir dengan anggaran besar dan melibatkan bandar besar. Jangan sampai pemborong besar dibiarkan begitu saja.
“Dalam hal ini, saya berharap kejaksaan masih steril,” kata kordinator GGW, Selasa (25/08/2020).
“Saat ini waktu penanganan kasus sudah lama, dengan di lama-lamakan, kami bisa saja meragukan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh kejaksaan,” imbuhnya.
Pria yang karib disapa Mas Gandhi ini meminta kejaksaan, untuk sekaligus memeriksa anggaran yang dipegang intelektual aktor, baik yang ada di eksekutif, maupun di legislatif.
“Kalau pemeriksaan kepada intelektual aktor pemegang kebijakan anggaran itu gak dilakukan, saya khawatir pemeriksan kasus ini banci,” ujar Mas Gandhi.
Sudah ada indikasi kuat dugaan persekongkolan bancakan eksekutif dan legislatif dari tahun 2014-2018, terkait dominasi pengaturan anggaran oleh intelektual aktor. Hal ini, berdasarkan keterangan yang GGW dapatkan dari pejabat pemkab garut yang dinilai akurat informasinya, jelas Mas Gandhi.
Skema pembagian anggaran melalui Pokir ini, disebut Agus Gandhi sebagai APBD Gate. Kasus pada skema Pokir ini ada indikasi yang sangat kuat diduga ada penjarahan anggaran.
Tidak hanya di legislatif, tapi melibatkan eksekutif. Karena, peran intelektual aktor ini diduga menitipkan anggaran ke dinas teknis, terang koordinator GGW.
“Kasus ini harus dituntaskan oleh kejaksaan, dari mulai eksekutif dan legislatif, sampai ke pemborong (Pelaksana kegiatan) bandar besar (pemilik pelaksana kegiatan lebih dari kewajaran),” pintanya.
Saat proses auditor ini, koordinator GGW berharap pada auditor, agar komprehensif dalam lakukan audit. Bukan hanya yang dilakukan dewan (anggota DPRD.red). Tapi, juga yang dilakukan, dan melibatkan eksekutif, serta pemborong (pelaksana kegiatan) bandar besar.
“Audit ini bukan audit biasa, tapi harus audit khusus terkait persoalan, fakta hukum dari 2014 hingga 2018. Kalau ini di split dari 2017-2018, inikan hanya lelucon saja.
Namun, jika dari 2014-2018 itu akan sangat terbuka. Auditor harus audit anggaran yang besar, yang ada di bandar eksekutif, bandar di legislatif maupun bandar yang tersembunyi,” jelas Agus Gandhi.
Terkait keyakinannya kepada Kejari dalam menuntaskan kasus ini, GGW tidak ingin menyatakan yakin apa tidak yakin.
“Yang saya khawatirkan, kejaksaan ini hanya menggugurkan kewajiban saja. Semisal, ada desakan masyarakat, sementara akar persoalan yang ada pada intelektual aktor ini tidak di sentuh,” tukasnya.
Yang pasti, jangan sampai menetapkan tersangka hanya kroni (jaringan kecil). Apalagi, jika ada skema melimpahkan persoalan pada orang yang lemah. Tentunya, jika itu terjadi tidak akan mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat.
“Intinya, kejaksaan dalam bekerja jangan sampai hanya sebatas menggugurkan kewajiban saja,” pungkas Agus Sugandhi koordinator GGW. (Ra)