Warta Satu – Suasana SDN Asih II, yang biasanya ramai suara anak-anak belajar, berubah muram pasca insiden longsor yang terjadi di area sekolah beberapa waktu lalu.
Di balik kejadian itu, muncul banyak tanda tanya soal siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas proses pembangunan yang kini jadi sorotan publik.
Plt. Kepala SDN Asih II, Dra. Hj. Ucu Konaah, akhirnya buka suara. Dalam keterangannya kepada wartawan, ia mengaku sama sekali tidak tahu-menahu soal detail proyek pembangunan di sekolah yang kini ia pimpin.
Pasalnya, ia baru saja ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Sekolah, menggantikan pejabat sebelumnya, Lina Rupina, S.Pd.
“Saya benar-benar tidak mengetahui siapa pihak ketiga yang mengerjakan proyek tersebut. Waktu saya mulai tugas, pekerjaannya sudah berlangsung. Tidak ada laporan tertulis atau penjelasan resmi tentang siapa pelaksana proyeknya,” ungkap Ucu, dengan nada kecewa, Minggu (09/11/2025).
Dari pengakuannya, pembangunan di lingkungan SDN Asih II itu seolah berjalan “tanpa koordinasi” dengan pihak sekolah. Ucu menyebut tidak pernah mendapat penjelasan apa pun dari dinas terkait, baik soal pelaksana, anggaran, maupun rencana konstruksi.
“Biasanya kan ada sosialisasi dulu ke pihak sekolah, apalagi kalau pembangunan dilakukan di area yang berpotensi berisiko. Tapi kali ini, nggak ada,” tambahnya.
Sorotan tajam datang dari masyarakat setelah diketahui bahwa bangunan yang terdampak longsor dibangun menempel langsung ke as kirmir (dinding penahan tanah).
Dari sisi teknis, posisi itu jelas berbahaya. Jika tidak diperhitungkan matang, struktur tanah bisa labil dan berpotensi longsor seperti yang akhirnya terjadi.
“Sangat ironis. Pembangunan menempel ke kirmir itu jelas berisiko. Seharusnya direncanakan dengan konstruksi yang kuat, material berkualitas, dan sesuai standar teknis,” ujar Ucu menegaskan.
Kejadian ini pun memunculkan pertanyaan besar soal prosedur pengawasan proyek pemerintah yang melibatkan fasilitas pendidikan. Apalagi, keselamatan siswa dan guru menjadi taruhannya.
Tak berhenti di situ, Ucu juga mengungkapkan kejadian lain yang cukup mengejutkan. Ia menuturkan bahwa sempat ada petugas dari Dinas PUPR yang datang ke sekolah, meminta bantuan berupa BBM (solar) untuk alat berat yang digunakan dalam proses pekerjaan.
“Ada orang dari PUPR datang dan minta bantuan solar untuk alat berat. Saya pikir, kok bisa begitu? Harusnya kan tanggung jawab dinas, bukan sekolah,” jelasnya.
Permintaan itu membuat pihak sekolah kebingungan. Selain tidak memiliki anggaran untuk hal tersebut, tanggung jawab penyediaan bahan bakar untuk alat berat jelas bukan ranah sekolah.
Hingga kini, pihak sekolah masih menunggu hasil pemeriksaan dari instansi teknis terkait, termasuk Dinas PUPR dan tim penanganan bencana daerah.
Pemeriksaan tersebut diharapkan bisa menjawab penyebab pasti longsor dan menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan yang terkesan asal-asalan itu.
Ucu berharap kejadian ini bisa jadi pelajaran besar bagi semua pihak, terutama instansi pemerintah yang mengelola proyek pembangunan di lingkungan pendidikan.
“Yang terpenting sekarang, keselamatan siswa dan guru harus dijamin. Jangan sampai ada korban lagi gara-gara kelalaian teknis atau miskomunikasi antarinstansi,” ujarnya.
Di media sosial, warganet pun ramai menyoroti kasus ini. Banyak yang mempertanyakan transparansi proyek pemerintah di sekolah-sekolah.
Beberapa komentar menyebut bahwa kasus seperti ini bukan yang pertama terjadi, melainkan puncak dari lemahnya koordinasi antara pihak sekolah dan dinas terkait.
“Kalau proyek aja nggak dikasih tahu ke kepala sekolah, itu udah aneh banget sih. Gimana bisa sekolah bertanggung jawab kalau nggak dilibatkan?” tulis salah satu netizen di X (Twitter).
Kasus longsor di SDN Asih II bukan sekadar persoalan teknis bangunan. Di baliknya, ada masalah serius soal transparansi, koordinasi, dan akuntabilitas publik.
Jika pembangunan di lingkungan sekolah bisa berjalan tanpa sepengetahuan kepala sekolah, artinya ada celah besar dalam sistem pengawasan proyek pemerintah.
Kini, masyarakat menunggu tindak lanjut nyata dari Dinas PUPR dan Pemerintah Kabupaten Garut. Sebab, kejadian ini bukan cuma merusak bangunan, tapi juga merusak kepercayaan publik terhadap tata kelola proyek di bidang pendidikan. (wan)





