Warga Garut Desak Peninjauan Kembali Dugaan Pencabulan Massal oleh Oknum Guru Honorer

oleh
oleh
Ilustrasi

Warta Satu – Satu demi satu, luka lama mulai dibuka. Setelah sempat meredup dari radar publik selama bertahun-tahun, kasus dugaan pencabulan massal yang menyeret nama seorang mantan guru honorer berinisial R.G., kini kembali memanas. Dan semua ini berawal dari langkah berani seorang warga Garut, Mohammad Ismet Natsir.

Di tengah suasana santai sebuah tempat kuliner di Garut, Ismet yang dikenal aktif dalam berbagai isu sosial dan pendidikan, mengumumkan bahwa dirinya resmi melayangkan surat permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Kapolda Jawa Barat, melalui Kabid Propam Polda Jabar, terkait kasus yang pernah menghebohkan tanah Pasundan pada tahun 2017.

Menurut Ismet, ini bukan sekadar soal keadilan. Ini soal harga diri dan martabat daerah.

“Saya tidak akan berhenti sampai kasus ini diurai tuntas. Garut itu bukan tempat pembiaran. Kita bicara soal pemulihan marwah dan kehormatan kabupaten ini yang sempat tercoreng,” ujar Ismet dengan nada tegas.

Baca Juga :  Rugikan Negara Rp 1 Triliun Tambang Emas Ilegal di Kutawaringin Terbongkar Polresta Bandung

Langkah ini bukan kali pertama ia tempuh. Sebelumnya, ia telah mengirimkan Surat Permohonan bernomor 01/Per-Dumas/IV/2025, disertai satu bundel bukti pendukung yang menurutnya cukup kuat untuk membuka kembali luka lama tersebut, yang sampai hari ini belum sepenuhnya mendapatkan keadilan yang utuh.

Kilas balik ke tahun 2017, masyarakat Garut digemparkan oleh pemberitaan masif tentang dugaan kasus kekerasan seksual terhadap puluhan siswa di salah satu sekolah swasta terkemuka, SMK YPPT Garut. Pelakunya diduga adalah seorang guru honorer yang kala itu masih aktif mengajar.

“Waktu itu, media lokal sampai nasional ramai memberitakan. Tapi kemudian, entah kenapa semuanya tiba-tiba meredup. Seperti ditelan waktu,” tambah Ismet.

Tak sedikit publik yang kala itu mempertanyakan proses hukum yang berjalan. Banyak pihak merasa penyelidikan dan proses peradilan tidak berjalan optimal, bahkan sebagian menduga adanya tekanan atau intervensi dari pihak-pihak tertentu.

Dalam konteks sosial, langkah Ismet bisa dibilang bukan sekadar upaya hukum. Ia tengah menyalakan alarm moral, mengingatkan kita bahwa kejahatan terhadap anak-anak, apalagi di ruang pendidikan, tidak boleh ditoleransi, apalagi dilupakan begitu saja.

Baca Juga :  Surat Edaran Pj. Bupati Ciamis Sambut Ramadhan

“Kasus ini bisa jadi representasi banyak kasus serupa yang mungkin gak pernah terangkat ke permukaan. Kita tidak ingin ada lagi korban yang terbungkam hanya karena pelaku merasa aman di balik sistem yang longgar,” tuturnya.

Dalam suratnya, Ismet juga meminta agar pihak kepolisian bersikap transparan dan objektif dalam menanggapi permohonan ini. Ia menginginkan penyelidikan ulang, dengan melibatkan tim independen jika perlu, guna membuktikan bahwa hukum benar-benar berpihak pada korban.

“Kalau memang ada kekeliruan di masa lalu, ayo kita buka ulang. Jangan biarkan aib pendidikan ini mengendap dan jadi luka kolektif tanpa penyembuhan,” ucapnya lagi.

Pertanyaannya sekarang: Apakah Polda Jabar akan menanggapi permohonan ini dengan serius? Apakah ada langkah konkrit untuk membuka kembali penyelidikan dan mengungkap fakta-fakta yang mungkin dulu tertutup?

Ismet berharap besar. Tapi lebih dari itu, masyarakat menanti. Karena ketika suara keadilan diteriakkan dari akar rumput, itu bukan sekadar aksi individual, itu adalah panggilan nurani kolektif untuk tak tinggal diam saat nilai-nilai kemanusiaan diinjak-injak.

Garut butuh pembersihan sejarah. Dan langkah kecil dari Mohammad Ismet Natsir mungkin saja bisa jadi awal bab baru dalam perjalanan panjang mencari keadilan yang tertunda. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *