Wartasatu – Jangan kaget kalau lagi jalan-jalan ke desa-desa tua di Cirebon terus nemu koin buluk bertuliskan huruf Jepang. Bukan sekadar uang jajan jadul, tapi itu warisan era pendudukan Jepang yang kini dianggap “harta karun mini” oleh para kolektor dan sejarawan.
Uang logam peninggalan masa penjajahan Jepang tahun 1942–1945 ternyata masih beredar secara pasif di kalangan warga desa, entah terselip di laci tua, terpendam di gudang, atau tersimpan sebagai kenangan keluarga.
Uniknya, meski tampak sederhana karena terbuat dari seng dan aluminium—bahan murah kala itu—koin-koin ini justru diburu karena nilai sejarahnya yang mahal.
Mata Uang Penjajahan yang Menjadi Artefak
Menurut Bambang Herlambang, peneliti sejarah lokal di Cirebon, uang logam zaman pendudukan Jepang memiliki nilai lebih dari sekadar alat tukar.
“Koin ini bukan cuma benda mati, tapi saksi hidup dari masa transisi kekuasaan. Dari kolonial Belanda ke Jepang, lalu ke Indonesia merdeka. Bentuknya boleh sederhana, tapi ceritanya kompleks,” ujar Bambang saat ditemui di acara diskusi sejarah lokal, Sabtu (100/5/2025).
Selama masa pendudukan, Jepang menggantikan mata uang Belanda dengan mata uang buatannya sendiri, termasuk koin logam bertuliskan kanji dan simbol kekaisaran.
Tujuannya? Selain menggantikan simbol kolonial, juga sebagai bagian dari strategi propaganda dan kontrol ekonomi.
Dari Lumbung ke Lelang, Nilai Ekonomis di Balik Sejarah
Meski bukan lagi alat tukar resmi, beberapa koin Jepang itu sekarang diburu oleh kolektor numismatik lokal dan internasional. Bahkan di platform lelang online, harga koin tersebut bisa tembus hingga jutaan rupiah, tergantung pada:
- Tahun cetak (koin 1942 biasanya lebih langka),
- Kondisi fisik (tidak korosi dan masih bisa terbaca),
- dan Kelangkaan seri (terutama edisi yang hanya beredar sebentar).
“Saya nemu tiga koin Jepang di dalam peti kayu milik kakek saya. Awalnya nggak tahu itu apa. Setelah dicek dan saya unggah ke forum kolektor, ternyata ada yang nawar satu koinnya Rp500 ribu,” cerita Dodi (25), warga Desa Kalimaro, Cirebon Timur.
Warisan yang Tak Ternilai, Bukan Cuma untuk Dijual
Tak semua yang menemukan koin itu langsung menjualnya. Ada pula warga yang memilih menyimpannya sebagai benda pusaka keluarga, karena membawa kenangan masa lalu, atau bahkan diyakini membawa keberuntungan.
“Saya simpan saja. Kakek saya dulu mantan pejuang. Koin ini jadi pengingat bahwa keluarga kami pernah jadi bagian dari perjuangan,” ujar Rini (30), warga Lemahabang.
Bambang Herlambang pun mengingatkan bahwa nilai edukatif dan sejarah dari koin ini tak bisa diremehkan.
Ia mendorong agar koin-koin langka seperti ini didokumentasikan atau bahkan diserahkan ke museum lokal agar bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya
Bukan Sekadar Gaya Vintage
Fenomena meningkatnya minat anak muda terhadap koin jadul menunjukkan tren baru: Gen Z mulai tertarik pada investasi berbasis sejarah.
Tak hanya sekadar mengoleksi untuk gaya estetik, tapi juga melihat nilai jangka panjang, baik dari sisi ekonomi maupun historis.
“Sekarang tuh bukan cuma saham dan kripto yang digemari Gen Z. Koin kuno juga mulai dilirik, apalagi yang punya konteks sejarah kayak koin Jepang ini,” jelas Arif Nugroho, pengamat budaya pop sejarah.
Dari Masa Lalu untuk Masa Depan
Keberadaan uang logam Jepang di desa-desa Cirebon jadi bukti bahwa sejarah tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu untuk ditemukan kembali dan diceritakan ulang, baik oleh kolektor, peneliti, maupun warga biasa yang peduli pada akar budayanya.
Jadi, kalau kamu lagi berkunjung ke rumah nenek atau numpang nginep di desa, jangan buru-buru buang koin tua yang kamu temukan. Bisa jadi, kamu baru aja nemuin fragmen kecil dari perjuangan Indonesia yang bernilai besar. (***)