Warta Satu – Drama tak biasa tengah jadi perbincangan panas di Karangpawitan, Kabupaten Garut. Kali ini bukan soal politik atau proyek desa, melainkan soal ajakan duel fisik dari seorang oknum wartawan kepada seorang kepala desa.
Kasus yang bermula dari wawancara biasa itu kini melebar jadi polemik publik dan mulai menyentuh ranah hukum.
Cerita bermula dari Hendra Irawan, seorang yang mengaku wartawan dari media online Jejak Kriminal. Hendra disebut sedang menelusuri penggunaan 20 persen Dana Desa yang digelontorkan pemerintah untuk program ketahanan pangan di beberapa wilayah Garut.
Dalam salah satu kunjungannya, ia menyambangi Kepala Desa Situ Gede, Dedi Suryadi, untuk melakukan wawancara seputar program tersebut.
Awalnya, Dedi menerima kedatangan Hendra dengan tangan terbuka. Wawancara dijadwalkan di kantor Desa Situ Gede, Senin (27/10/2025).
Tapi suasana yang awalnya formal berubah tegang ketika sesi wawancara itu berjalan di luar ekspektasi.
“Saya menghormati kerja teman-teman jurnalis, dan saya paham amanat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Tapi kebebasan pers itu bukan berarti wartawan bisa mengintimidasi narasumber agar mengakui sesuatu yang tidak dilakukan,” ujar Dedi dengan nada kecewa saat ditemui di kantornya, Jumat (31/10/2025)
Menurut Dedi, pertanyaan-pertanyaan Hendra terkesan menekan dan menuduh. Merasa tidak nyaman, Dedi pun memutuskan menghentikan wawancara. Namun, setelah pertemuan itu, situasi justru makin panas.
Beberapa jam setelah insiden di kantor desa, Dedi mengaku menerima telepon ancaman dan tantangan duel fisik dari seseorang bernama Roni, yang disebut sebagai atasan Hendra sekaligus Kepala Wilayah Jawa Barat Media Jejak Kriminal.
“Tiba-tiba saya ditelepon dan ditantang duel satu lawan satu oleh Roni. Katanya, kalau saya merasa benar, ayo buktikan di lapangan,” ungkap Dedi.
Dengan niat baik untuk meredakan situasi, Dedi sempat mendatangi Bunderan Suci Garut sesuai lokasi yang disebutkan Roni. Sekitar pukul 12.30 WIB, keduanya akhirnya bertemu. Namun, bukannya mediasi, suasana justru memanas.
Menurut saksi mata, M. Suyetno (62), Roni datang sendirian dan meminta Dedi melepas seragam dinas kepala desa agar duel tidak membawa-bawa jabatan. Dedi sempat menolak dan berusaha menenangkan suasana, tapi Roni terus memprovokasi.
“Saya tidak mau meladeni hal yang tidak pantas. Tapi kalau memang mau adu fisik, ya jangan di jalan umum. Saya sarankan uji tanding di Octagon lokasi Baja Fighting, supaya jelas konteksnya olahraga, bukan amukan,” kata Dedi.
Sayangnya, usulan Dedi tersebut ditolak. Pertemuan pun berakhir tanpa bentrokan, tapi isu ini terlanjur jadi omongan ramai warga Garut dan dunia maya.
Kasus ini ternyata tak berhenti di situ. Dari hasil penelusuran awak media, tak kurang dari 13 advokat di Garut menyatakan siap mengawal dan membela Dedi Suryadi jika ancaman atau intimidasi dari pihak Jejak Kriminal terus berlanjut.
Salah satunya adalah Firman Syaeful Rohman, S.H., Ketua AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) Garut.
“Kalau benar ada tindakan intimidatif atau pemerasan, maka wartawan tersebut harus segera dilaporkan ke aparat penegak hukum, dan medianya juga ke Dewan Pers,” tegas Firman saat dihubungi via telepon.
Firman menilai, kasus ini bisa menjadi contoh buruk jika dibiarkan. Apalagi, banyak media abal-abal yang sering mengatasnamakan jurnalisme tapi justru melakukan tekanan terhadap pejabat publik di daerah.
Sikap tegas juga datang dari Asep Rahmat Permana, S.H.I., S.H., advokat dari PERADI SAI sekaligus Ketua Ormas GRIB JAYA Garut. Ia bahkan menyebut bahwa fenomena wartawan “instan” semakin meresahkan.
“Sekarang jadi wartawan gampang banget. Asal punya ID Card, udah bisa keliling desa wawancara siapa pun tanpa paham kode etik jurnalistik. Kalau perlu, saya sendiri yang akan kejar mereka karena saya legal partner Desa Situ Gede,” ujar Asep Rahmat dengan nada geram saat ditemui di padepokan bela diri.
Nada serupa disampaikan Yogi Sugandi, S.H., dari organisasi advokat KKI. Ia menilai organisasi pers di Indonesia harus lebih aktif dalam melakukan penertiban terhadap anggotanya agar dunia jurnalistik tetap punya marwah dan integritas.
“Kami tidak anti media. Tapi wartawan itu harus menjunjung tinggi kode etik. Jangan sampai profesi mulia ini dicoreng oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” tandas Yogi. (***)


 
											



