Ismet Desak Lagi APH Buka Kasus Pelecehan Seksual yang Libatkan Seorang Advokat

oleh
oleh
Ilustrasi

Wartasatu – Bayangkan kamu adalah salah satu dari 200 lebih siswa SMK yang mengalami kekerasan seksual dari guru sendiri. Bukan cuma hidup dengan trauma, tapi juga harus menyaksikan terduga pelakunya hidup bebas, bahkan berprofesi sebagai advokat. Sayangnya ini nyata.

Kasus dugaan pelecehan seksual massal di SMK YPPT Garut tahun 2017 kembali mencuat ke publik setelah lama “mengendap” tanpa ujung.

Sosok Muhammad Ismet Natsir, seorang masyarakat Garut, jadi suara keras yang menggugat kebungkaman sistem hukum yang dianggap gagal menuntaskan kasus ini.

Baca Juga :  Ada Apa Jajaran Plt Direksi PDAM Tirta Intan Garut Dipanggil Sekda?

“Ini bukan cuma soal hukum yang macet, ini tentang luka kolektif yang dibiarkan terbuka. Bayangkan, lebih dari 200 korban, dan sampai sekarang nggak ada kejelasan,” tegas Ismet dalam pernyataan terbuka, Minggu (11/05/2025).

Kasus Besar yang Dibiarkan Hilang dari Sorotan

Di tahun-tahun awal mencuat, kasus ini sempat jadi headline nasional. Tapi seiring waktu, sorotan media memudar. Begitu juga, menurut Ismet, dengan penegakan hukumnya. Ironisnya, kini sosok yang diduga sebagai pelaku justru dikabarkan aktif berpraktik sebagai advokat.

“Apa kita mau tutup mata lihat pelaku malah berdiri di pengadilan dengan jas dan pin profesi mulia, padahal di balik itu ada ratusan korban yang belum dapat keadilan?” ujar Ismet dengan nada geram.

Bukan Sekadar Suara, Tapi Aksi

Ismet tak sekadar marah. Ia sedang menyiapkan laporan resmi ke Divisi Propam Polda Jawa Barat, untuk mendesak audit ulang terhadap penanganan kasus ini.

Tujuannya jelas, mencari tahu apakah ada kelalaian, pembiaran, atau tekanan tertentu yang membuat kasus tak pernah sampai ke meja hijau. Ia menyebut, bila tak ada tindakan nyata, ini bisa jadi preseden buruk yang menormalisasi budaya impunitas di dunia pendidikan dan hukum.

Baca Juga :  Sepakat dengan Bapak Aing, Ketua Umum GPMPB Tolak Politisasi dan Timses di BUMD Garut

“Kalau pelaku bisa lolos dan malah jadi advokat, lalu di mana rasa hormat terhadap korban? Ini bukan negara hukum kalau hukum cuma berlaku untuk yang lemah,” ucapnya.

Salah satu sorotan tajam masyarakat adalah profesi baru yang kini disandang terduga pelaku. Di tengah kekecewaan publik, banyak yang mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang dengan rekam jejak dugaan kejahatan moral bisa lolos verifikasi profesi hukum.

“Ini tamparan buat kita semua. Harus ada evaluasi besar terhadap sistem pengawasan organisasi profesi hukum di Indonesia. Jangan sampai nama ‘advokat’ jadi tameng bagi pelaku kekerasan,” tambah Ismet.

Jangan Lagi Ada Korban yang Dibungkam

Ismet menegaskan, ini bukan hanya soal satu sekolah atau satu kota. Ini tentang perlindungan generasi muda, dan tentang bagaimana sistem hukum harusnya berdiri untuk rakyat, bukan justru bersembunyi di balik prosedur.

Seruan pun makin nyaring, meminta agar lembaga perlindungan anak dan perempuan turun tangan, dan membantu menekan agar kasus ini dibuka kembali secara transparan dan tuntas.

“Kita nggak bisa terus normalisasi ketidakadilan. Kalau masyarakat diem, siapa lagi yang mau jadi suara korban?” cetusnya.

Baca Juga :  PDAM Bukan Panggung Politik! GPMPB Garut Teriakkan Tolak Direksi Titipan Tim Sukses

Bangunkan Keadilan yang Tertidur

Kasus SMK YPPT Garut jadi cermin buram sistem hukum kita. Saat korban dibiarkan sendiri dan pelaku bebas melenggang, rasa keadilan berubah jadi ilusi. Tapi langkah Muhammad Ismet Natsir menunjukkan bahwa masyarakat belum menyerah.

“Keadilan bukan hadiah,  ia harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu dimulai dari suara kecil yang berani mengguncang diamnya sistem. Garut tidak lupa, Indonesia tidak lupa. Dan korban, layak untuk tidak dilupakan,” tandas Ismet. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *