Warta Satu – Polemik kepemilikan tanah di kawasan wisata Puncak Guha kembali memanas. Setelah sempat dibahas dalam audiensi di Komisi II DPRD Garut pada 8 September 2025 lalu, kini forum lanjutan digelar langsung di lapangan.
Audiensi lapangan ini menjadi momen penting karena menghadirkan bukti nyata yang justru membalikkan klaim awal Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Garut.
Semua Pihak Turun ke Lokasi
Kegiatan yang berlangsung pada Selasa (16/9/2025) ini dihadiri oleh banyak pihak. Dari unsur legislatif hadir Komisi II DPRD Garut, sementara dari eksekutif tampak perwakilan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), Asisten Daerah I, dan Bagian Hukum Pemda.
Pihak BPN Garut yang menjadi sorotan utama turut hadir, bersama aparat kepolisian, TNI, camat, kepala desa, hingga para tokoh masyarakat termasuk RT dan RW setempat.
Beda dengan audiensi sebelumnya yang hanya berlangsung di ruang rapat, kali ini masyarakat bersama DPC GMNI Garut meminta agar seluruh pihak turun langsung ke lapangan.
Alasannya jelas: untuk memastikan titik koordinat sertifikat tanah yang selama ini jadi sumber polemik.
Fakta Mengejutkan: Sertifikat Ada di Kiara Koneng
Hasil pengecekan di lokasi justru membuka fakta baru. Berdasarkan aplikasi resmi Sentuh Tanahku milik BPN, aplikasi Bumi, serta hasil pengecekan koordinat di lapangan, terbukti bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 38 yang kemudian dipecah menjadi SHM 45, 46, dan 47 tidak berada di kawasan wisata Puncak Guha.
Ketiga sertifikat itu nyatanya terletak di wilayah Kiara Koneng, sekitar 3–4 kilometer ke arah utara dari Puncak Guha.
Fakta ini sekaligus membantah klaim yang sebelumnya beredar bahwa sertifikat tersebut meliputi kawasan wisata strategis di pesisir Garut selatan.
BPN Dinilai Tidak Transparan
Menariknya, sebelum pengecekan dilakukan, pihak BPN sempat menolak untuk membuka data melalui aplikasi daring dengan alasan “tidak akurat” dan menyatakan bahwa data resmi hanya bisa dilihat di kantor BPN.
Namun, setelah mendapat desakan keras dari masyarakat dan GMNI, pihak BPN akhirnya mau melakukan pengecekan di lokasi.
Dan hasilnya? Justru membuktikan klaim masyarakat: SHM Nomor 47 berada di Kiara Koneng, bukan di Puncak Guha.
Langkah BPN ini membuat masyarakat semakin curiga ada upaya menutup-nutupi informasi.
“BPN seharusnya menjadi lembaga yang menjaga kejelasan status tanah demi kepentingan publik, bukan malah menimbulkan keraguan. Penolakan awal mereka itu jelas menunjukkan ketidaktransparanan,” tegas Ketua DPC GMNI Garut, Pandi Irawan.
Sikap Tegas GMNI Garut
DPC GMNI Garut dalam pernyataannya menegaskan sikap keras terhadap BPN. Mereka menilai lembaga pertanahan tersebut gagal menunjukkan komitmen pada prinsip transparansi dan keadilan.
“Ini bukan soal kecil. Kita bicara soal aset negara, soal kepentingan rakyat. Kalau BPN saja tidak bisa jujur di lapangan, bagaimana masyarakat bisa percaya? Kami akan terus kawal persoalan ini sampai jelas,” lanjut Pandi.
Meski begitu, GMNI tetap menegaskan komitmennya untuk menjunjung tinggi proses hukum. Saat ini, SHM Nomor 45 dan 46 masih dalam proses kasasi, dan GMNI bersama masyarakat akan tetap patuh hukum sembari mengawal agar kasus ini tidak merugikan rakyat maupun mengancam keberadaan aset negara.
Simbol Perlawanan Rakyat
Audiensi lapangan ini menjadi bukti nyata bahwa masyarakat tidak tinggal diam menghadapi sengketa tanah yang berpotensi merampas ruang publik.
Puncak Guha, yang selama ini dikenal sebagai kawasan wisata dan simbol keindahan pesisir Garut selatan, dinilai harus tetap menjadi milik rakyat dan negara, bukan segelintir pihak yang mencoba “bermain” dengan sertifikat.
Masyarakat menegaskan, perjuangan ini bukan hanya soal lahan, tapi juga soal kedaulatan dan keadilan. GMNI Garut pun memastikan akan terus berdiri di garda depan bersama rakyat.
Kasus ini membuka mata publik bahwa masalah agraria di Indonesia, khususnya di daerah-daerah wisata, masih rentan disusupi kepentingan tertentu. Transparansi, akurasi data, dan keberpihakan kepada rakyat kecil harus jadi prioritas utama.
Dan untuk saat ini, fakta di lapangan sudah jelas: sertifikat tanah yang dipermasalahkan ada di Kiara Koneng, bukan di Puncak Guha. (***)