Wartasatu – Bayangin gini, sebelum ada TikTok travel vlog, sebelum ada konten healing di Instagram, bahkan sebelum kamu bisa selfie di atas Gunung Papandayan atau bikin food review dodol Garut, ada satu nama legendaris dunia yang udah duluan “nge-review” Garut langsung dari tempat kejadian. Charlie Chaplin. Yes, THE Charlie Chaplin.
Tokoh ikonik film bisu yang dikenal lewat gaya jalan lucunya dan tongkat kecilnya itu pernah singgah ke Garut pada awal tahun 1930-an.
Saat itu, Chaplin nggak datang karena undangan festival atau collab sama influencer lokal, tapi karena jatuh cinta sama lanskap dan aura magis Tanah Priangan. Dan yang bikin makin mindblowing: dia ke sana naik kereta api.
Garut, Bukan Sekadar Persinggahan
Di zaman itu, Garut sudah dikenal sebagai destinasi premium untuk para bangsawan kolonial Belanda. Hotel-hotel klasik seperti Hotel Grand Ngamplang menjadi tempat menginap para elite.
Dan dari beberapa sumber sejarah, di sanalah Charlie Chaplin menginap dan menikmati udara Garut yang sejuk dan pemandangannya yang memikat.
“Beliau datang dua kali. Pertama tahun 1932, lalu kembali lagi sekitar 1935. Itu artinya, Garut bukan cuma tempat singgah, tapi tempat yang bikin dia pengen balik lagi. Kayak mantan yang bikin susah move on,” canda Ratno Suratno, pemerhati sejarah lokal Garut.
Jejak yang Masih Bisa Dilacak Sampai Sekarang
Kalau kamu ke Garut hari ini, coba mampir ke kawasan Ngamplang, di daerah Kecamatan Cilawu. Di sana ada lapangan golf legendaris yang sudah berdiri sejak zaman Belanda.
Dari sanalah kamu bisa melihat jejak visual peninggalan masa lalu yang Chaplin nikmati, hamparan hijau, Gunung Cikuray yang megah di kejauhan, dan udara bersih yang langka di kota besar.
Mitos soal Chaplin sempat dianggap hoax oleh beberapa kalangan. Tapi lewat dokumentasi dan catatan sejarah dari Arsip Nasional Belanda serta laporan surat kabar kolonial, kunjungan sang komedian ini benar-benar tercatat dan punya bukti kuat.
“Kalau zaman sekarang, kunjungan Chaplin ke Garut tuh setara kayak Elon Musk atau Leonardo DiCaprio datang ke kota kecil di Indonesia cuma buat staycation,” ujar lelaki yang akrab disapa Wa Ratno ini.
Dampak Budaya yang Diam-Diam Masih Terasa
Meski nggak viral waktu itu (ya iyalah, belum ada media sosial), kedatangan Chaplin membawa pengaruh besar pada branding wisata Garut.
Hotel-hotel zaman kolonial makin diburu, wisata pemandian air panas Cipanas mulai naik daun, dan citra Garut sebagai “Swiss van Java” makin kuat.
Bahkan, film dokumenter bisu yang merekam lanskap Garut dari jendela kereta diyakini terinspirasi dari perjalanan Chaplin itu sendiri.
Chaplin mungkin nggak pernah tahu kalau kunjungannya jadi bahan bahasan anak muda 90 tahun kemudian. Tapi kehadirannya seperti capslock sejarah yang menegaskan kalau Garut emang punya pesona internasional sejak dulu.
Zaman Boleh Maju, Tapi Daya Tarik Garut Tetap Timeless
Kita bisa aja pakai filter aesthetic dan caption “healing time” pas naik ke Papandayan atau makan dodol enak di pusat oleh-oleh, tapi jangan lupa: tempat yang kamu nikmati hari ini, pernah jadi destinasi eksklusif sang legenda dunia hiburan.
Dan sekarang, tugas kita adalah merawat kisah ini, bukan cuma lewat memori, tapi lewat pelestarian wisata sejarah. Bisa dimulai dari ngajak teman staycation ke hotel-hotel heritage Garut, atau bikin konten sejarah yang beda dari yang lain. Siapa tahu, TikTok kamu jadi viral kayak kisah Chaplin.
Charlie Chaplin ke Garut itu bukan mitos. Itu real, dan jadi bukti bahwa kecintaan dunia pada Indonesia itu sudah ada jauh sebelum kata “viral” lahir. (***)